Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah, tanah subur, lautan luas, dan garis pantai yang panjang. Dengan modal tersebut, Indonesia memiliki potensi pertanian tanaman pangan yang baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Namun, hingga saat ini Indonesia belum bisa dikatakan swasembada pangan, hal ini dikarenakan masih adanya aktifitas impor produk pangan, hingga yang terbaru Indonesia harus mengimpor garam 2016 lalu. Sulitnya mencapai swasembada pangan ini, salah satunya disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan tidak disertai dengan ekstensifikasi lahan pertanian namun justru pengalihfungsian lahan[1]. Selain itu juga dikarenakan faktor cuaca serta tingkat kesejahteraan petani yang rendah sehingga orang tidak tertarik dengan profesi tersebut[2]. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan adalah dengan memfokuskan terlebih dahulu pada 11 komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula, ayam, telur, cabai, bawang, dan minyak.
Apabila ditarik pada intinya, tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan adalah bagaimana mewujudkan sistem distribusi yang dapat memenuhi kuantitas dan kualitas komoditas pangan yang diharapkan masyarakat dengan tidak mengesampingkan kesejahteraan petani. Artinya diperlukan upaya perencanaan pemenuhan kebutuhan (demand) dengan mengoptimalkan surplus produksi, pemilihan strutur rantai pasok dan mekanisme distribusi yang optimal untuk menghemat biaya, dan alternatif kebijakan yang mendukung optimasi sistem perdagangan dan distribusi komoditas pangan lokal, yang mana keseluruhan aktifitas tersebut merupakan satu kesatuan (saling terintegrasi) dalam manajemen rantai pasok.
Definisi rantai pasok (supply chain) merupakan bentuk kerja sama jangka panjang dengan pelanggan untuk mengurusi sebagian atau seluruh proses perolehan, penyimpanan, dan penggunaan barang yang bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya dalam memenuhi kebutuhan produk-produk yang diperlukan. Konsep supply chain adalah tidak hanya menjual, tetapi duduk bersama sebagai mitra bisnis dengan memberikan saran dalam pengaturan persediaan perusahaan pelanggan. Menurut Schroeder (2000:179), Suppy chain management adalah perencanaan, desain, dan pengendalian terhadap aliran informasi dan materi yang terdapat pada supply chain dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan dengan cara yang efisien saat ini dan untuk masa yang akan datang[3].
Sustainable supply chain management akan mendorong mekanisme pengadaan komoditas pangan yang prediktif dengan mempertimbangkan berbagai faktor produksi sehingga dapat mempertemukan supply dengan demand secara efisien. Petani sebagai supplier harus diperhatikan kesejahteraannya, dan masyarakat sebagai konsumen juga harus diperhatikan keinginannya. Aktifitas pembentukan harga juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan, oleh karena itu biaya logistik harus diupayakan seminimal mungkin. Mengingat hal tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perumusan swasembada pangan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dari sumber daya lokal, manajemen rantai pasok memiliki peran strategis di dalamnya.
Oleh: An Naafi Yuliati Lathifah (14/365849/TP/11042)
Referensi
[1] Amirullah. 2016. Swasembada Pangan. Dari sulsel.litbang.pertanian.go.id diunduh pada 27 Oktober 2017.
[2] Wibowo, Kukuh. 2017. Soal Kesejahteraan Petani, BPS dan Kementan Beda Pendapat. Dari www.tempo.co diunduh pada 27 Oktober 2017.
[3] Rangkuti, Freddy. 2004. Flexible Marketing. Jakarta: Gramedia.