Salak (Salacca zalacca (Gaert.) Voss.) merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi buah nasional. Data Kementerian Pertanian (2014) menyebutkan bahwa produksi buah salak menempati urutan kelima dengan produksi sebesar 1.118.953 ton atau sekitar 5,65% terhadap total produksi buah nasional. Selain itu, salak juga termasuk 3 buah yang menjadi primadona ekspor Indonesia selain manggis dan mangga. Di Indonesia, salak banyak di produksi di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah dan DIY, khususnya Kabupaten Sleman. Salak yang dihasilkan di Kabupaten Sleman adalah salak dengan jenis varietas pondoh dengan kualitas terbaik jika dibandingkan dengan varietas lainnya dan sudah tersertifikasi Indikasi Geografis sejak Juni 2013, sehingga pemasaran produk segar salak pondoh ini tidak hanya di dalam negeri saja, namun juga sudah diekspor oleh Kelompok Tani.
Salak memiliki sifat yang mudah rusak seperti komoditas pertanian pada umumnya. Dengan jangkauan produksinya yang tidak hanya di dalam negeri saja, penerapan manajemen rantai pasok merupakan hal yang sangat penting bagi bahan yang mudah rusak terutama untuk mengoordinasikan pengelolaan aliran barang. Salak pondoh merupakan buah hortikultura dengan permintaan yang semakin meningkat. Adanya faktor permintaan dan penawaran oleh konsumen dapat mempengaruhi kinerja manajemen rantai pasok salak pondoh yang dilakukan oleh setiap pelaku. Selain itu, berdasarkan karakteristik buahnya, salak pondoh merupakan buah musiman sehingga menyebabkan rumitnya rantai pasok serta dapat mempengaruhi kinerja rantai pasok. Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas salak pondoh hingga sampai ditangan konsumen diperlukan strategi khusus untuk melakukan peningkatan kinerja para pelaku rantai pasok salak pondoh.
Pelaku rantai pasok salak pondoh terdiri dari petani, kelompok tani, pengepul, paguyuban dan asosiasi, pedagang besar, serta pedagang kecil. Berikut ini adalah skema aliran rantai pasok salak pondoh.
Pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan pada tiga bagian utama aktifitas setiap pelaku, yaitu customer facing, internal facing, dan shareholder facing (Bolstroff dan Rosenbaum, 2003). Customer facing mengukur kinerja ketepatan kuantitas, kualitas, dan waktu order, serta fleksibilitas pelaku rantai pasok dalam menghadapi order. Internal Facing mengukur kinerja pelaku dari segi kemampuan pengelolan biaya dan aset yang dimiliki. Kemudian, shareholder facing mengukur kinerja pelaku dalam menghasilkan pendapatan (Supply Chain Council, 2012). Petani dan kelompok tani memiliki kinerja yang kurang baik pada pengelolaan aset, nilai pengembalian aset dan modal kerja yang dimiliki oleh petani sangat sedikit dimana laba yang dihasilkan oleh petani hanya 0,17% dari aset dan modal kerja yang digunakan untuk investasi. Dari segi kinerja pemenuhan kebutuhan konsumen sudah cukup baik. Penyalur ekspor memiliki kinerja yang kurang baik dari sisi fleksibilitas, karena konsumen sudah tidak dapat mengurangi jumlah ordernya setelah memesan, sedangkan konsumen hanya dapat meningkatkan ordernya setelah pesan dengan jumlah maksimal 14kg. Hal tersebut kurang baik dari sisi pelaku penyalur yang seharusnya memiliki fleksibilitas tinggi karena harus bersaing dengan penyalur lainnya. Kemudian, untuk pengepul, kinerja yang kurang baik adalah dari segi pengiriman yang masih lebih dari 1 hari, bahkan 2-3 hari jika pengiriman antar pulau. Kinerja lain seperti pemenuhan kualitas dan kuantitas produk, serta pengelolaan biaya dan aset sudah sangat baik. Selanjutnya pelaku yang terakhir adalah pedagang memiliki keseluruhan kinerja yang cukup baik, baik dari pemenuhan pesanan konsumen, pengelolaan biaya dan aset, maupun pengelolaan laba yang didapatkan.
Berdasarkan kinerja dari masing-masing pelaku rantai pasok, perlu diterapkan strategi dalam peningkatan kinerja pelaku rantai pasok. Menurut Cohen dan Roussel (2005) faktor penting yang difokuskan dalam penyusunan strategi rantai pasok adalah inovasi, pelayanan, kualitas, atau biaya. Strategi yang dapat diterapkan untuk petani dan kelompok tani ini adalah fokus pada biaya yaitu perlunya perhitungan harga pokok penjualan dari total biaya rantai pasok, namun petani juga tidak perlu memasang marjin yang tinggi untuk menjaga kontinuitas order. Untuk penyalur dan pengepul, strategi yang dapat diterapkan adalah fokus pada fleksibilitas dan layanan, dimana penyalur sebaiknya melakukan schedulling sebelum memenuhi order, sehingga dapat memiliki fleksibilitas yang tinggi. Selain itu, pengepul sebaiknya menerapkan strategi transportasi intermodal yang dapat memperpendek waktu tunggu konsumen dan meningkatkan layanan yang diberikan.
Referensi:
Bolstroff, Peter and Robert Rosenbaum. 2003. Supply Chain Excellence A handbook for Dramatic Improvement Using the SCOR Model. AMACOM. New York.
Cohen, Shoshanah and Joseph Roussel. 2005. Strategic Supply Chain Management Second Edition : The Five Disciplines For Tor Performance. Mc Graw Hill, United States
Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Pertanian 2014. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian RI
Supply Chain Council. 2012. Supply Chain Operation Reference Revision 11,0. Supply Chain Council, Inc. United States of America.
Penulis: Melinda Sugiana Dharmawati